Cerpen Love Story

Sabtu, 14 Februari 2015
Perlahan aku membuka sebuah diary usang, aku yakin umur diary ini sudah lebih tua dari umurku. Tentu saja, diary usang ini milik Ibuku, bungkusnya masih tampak rapi, tulisan di dalamnya pun tampak indah. Kertas yang tampak tua dan sudah lapuk tetap indah karena tulisan dan cerita indah di dalamnya. Aku membalik tiap lembar dari diary itu, aku membacanya perlahan. Tampak sebuah cerita yang terlihat sangat menarik dan membuat siapapun yang membacanya ikut tersenyum, di sana juga terpampang sebuah foto gadis muda dan kekasihnya yang terlihat sangat bahagia.
14 Semptember 1987
Hari ini adalah hari bahagia yang paling kunanti sepanjang hidupku. Tak pernah kusangka hari ini aku akan melepas semuanya. Melepas masa sendiriku, dan memulai kisah yang baru dengan orang yang kusayangi. Aku benar-benar bahagia saat kau menyematkan sebuah cincin di jari manisku, aku benar-benar bahagia saat kita sama-sama memasuki gereja dan mengucapkan janji sehidup-semati kita di sana. Semua orang ikut bahagia akan hari itu.
Tak pernah kusangka orang yang dulu menjadi sainganku saat pertama kali kuliah, adalah menjadi orang yang akan menjadi pasangan hidupku sampai nafasku berhenti.. tak pernah kusangka orang yang selalu menggangguku adalah orang yang pada akhirnya akan tua dan mati bersamaku.
Tak pernah kusangka kita bisa melewati semuanya bersama. 4 tahun kita melewati semuanya bersama. Menghadapi semua rintangan, menguji kita apakah kita bisa bersatu atau tidak. Sama-sama berusaha belajar dan meraih cita dan cinta. Semua sudah terjawab hari ini.. hari ini.. semuanya baru dimulai, hari ini kita membuka lembaran baru dan kehidupan yang baru. Hari ini adalah sejarah bagi kita, hari ini adalah awal dari semuanya. Aku berjanji akan selalu mendampingimu sampai maut memisahkan kita.. aku sangat menyayangimu..
“Kak.. kamu baca diary Mama?” suara Mama mengagetkan aku.
“Uh.. eh.. Mama.. Hehe.. maaf ma, Dinda gak sengaja liat tadi” jawabku ngeles.
“Oh.. ya. Gak masalah, Din. Mama gak marah kok” jawab Mama sambil mengusap lembut kepalaku, “Din.. besok kamu sudah mulai kuliah? Gak terasa ya, anak gadis Mama sudah besar sekarang”
“Dinda udah lama gede kali Ma hehehe.. Iya, Ma. Dinda gak sabar pengen punya kisah cinta kayak pasangan kekasih yang ada di diary tua itu hihihi..” aku menggoda Mama.
Ospek 1 minggu yang benar-benar membuat aku hampir gila dan menderita berhasil kulalui dengan lancar, aku mendapat teman bernama Vivian dan Robby, teman-temanku yang baru dan sangat baik padaku. Walaupun aku merasa Robby adalah orang yang cukup pandai, terbukti setelah 1 minggu kuliah, dia adalah orang yang paling cepat mendapat nilai plus dari seorang dosen yang sebenarnya adalah dosen yang agak pelit dengan nilai B.
“Kamu semangat dong, Din.. Masa naklukin dosen gitu aja kamu gak sanggup!” Robby mendukungku.
“Yeee. Emang gampang apa? Kamu pake pelet apa sih? Kok banyak sih dosen yang care banget sama kamu?”
“Pelet? Emang aku ikan ya?”
Itulah Robby, orang yang asik dan pandai, sementara Vivian tertutup dan agak pendiam. Aku tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.
Ini adalah kehidupan ku yang baru, sudah berhasil kulalui selama 1 semester, ya.. aku merasa lelah dan jenuh. Begitu banyak beban yang harus kuhadapi. Tugas, kuliah mendadak, tugas, kuliah mendadak, hal itu lah yang selalu menghantui hidupku selama kuliah 6 bulan pertama.. belum lagi siksaan dari dalam diriku saat melihat nilai ku yang sangat-sangat-tidak-membuat-aku-merasa-puas! Aku mendapat 2 nilai C, 1 nilai C+ dan yang lainnya hanya B. Sebatas itukah kemampuanku? Sementara Robby? Jangan Tanya! Dia selalu mendapat nilai B dan beberapa nilai A. Aku merasa dia adalah saingan terberatku dan aku harus mengalahkannya. Ya.. aku pasti bisa!
“Kok melamun aja sih, Din?” Tanya Vivian padaku.
“Mikirin aku ya, Din?” sambung Robby dengan begitu pedenya.
“Apa, By? Mikirin kamu? Iuhh!! Yang ada aku mikirin nilai-nilaiku, dan nilai kamu, By. Huftt aku pesimis deh bisa nyelesain kuliah ini, ditambah lagi punya saingan kayak kamu yang pintarnya selangit. Aku ngerasa capek, deh ngadapin ini semua.”
Tiiitiitiitiit.. handphone Vivian berbunyi memecah suasana galau ku siang itu, “Eh.. aku pamit ya, aku disuruh pulang sama Ibu” Vivian pamit dan pergi meninggalkan kami berdua pada sore yang dinginnya menusuk tubuh ini.
“Kamu pesimis banget sih. Kamu pasti bisa, Din. Jangan lemah kayak gitu dong! Aku pasti ada buat kamu kalau kamu butuh bantuan aku, Din. Percaya deh! Aku juga siap kok jadi tempat sandaran kamu kalau kamu sedih, capek, atau apa lah itu! Aku pasti ada buat kamu, asal kamu gak nyerah dan putus asa gini, tuh.. kecantikan kamu jadi berkurang, kan!”
Terimakasih Robby..
Janji yang tidak pernah diingkarinya, dia benar-benar membantuku, menjadi tempat aku bersandar dan menjadi tempat aku mengeluarkan semua keresahanku, dan semua keganjalan yang ada dalam hatiku. Saat itulah aku mulai menyadari aku sangat menyayanginya.
“Din.. kayaknya aku suka sama Robby, deh” suara Vivian sahabatku membuatku sangat shock saat itu. Ya Tuhan.. kejadian macam apa ini?
“Oh ya.. bagus dong. aku pasti bantu kamu!” aku mendukungnya walau sangat berat untuk mengatakan hal itu.
“Makasih ya, Din..” katanya sambil memelukku.
Aku tidak pernah berbohong pada Vivian, aku menepati janji itu. Aku selalu membantunya untuk dekat dengan Robby. Aku selalu mempengaruhi Robby agar ia mau mendekati Vivian walaupun ia selalu menolak.
“Kenapa sih, Din kamu selalu nyuruh aku buat deket sama Vivi, kamu juga selalu jodoh-jodohin aku sama dia. Kamu gak ngerti aku sukanya sama kamu! Aku sayangnya sama kamu!” kata-kata itu menggetarkan suasana hatiku saat itu.
“Tapi.. aku mau Vivian bahagia. Aku rela ngorbanin semuanya demi Vivi, dia sahabatku, By!”
“Kalo kamu ngorbankan ini, kamu nyakitin perasaan 3 orang sekaligus, yang pertama aku, aku sukanya sama kamu, bukan sama Vivian. Yang kedua, Vivian, gak mungkin dia menerima kepalsuan. Dan yang ketiga, itu kamu sendiri. Kapan sih kamu mikirin kebahagiaan kamu, Din? Kamu selalu ngorbanin semuanya sama orang-orang sekitar kamu, kamu gak pernah mikirin perasaan kamu sendiri, tanpa mikirin kebahagiaan kamu! Aku gak mau tau! Aku pengen kamu bahagia, aku suka sama kamu, Din! Kamu jangan berbohong sama diri kamu sendiri ya.. biar aku yang menjelaskan semua pada Vivian” kata Robby.
Resmilah sebuah hubungan yang lebih serius hari itu, awalnya aku sempat ragu untuk menjalani semua ini karena Vivian. Namun, Robby benar, kapan aku akan bahagia jika aku selalu mengorbankan perasaanku demi orang lain?
Vivian tidak pernah tau tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sudah 1 tahun kami menyembunyikan semua ini darinya, aku benar-benar tidak tega menyakiti perasaan sahabatku, sampai saat ini dia masih tetap mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Robby.
Hari itu.. Robby menyanyikan sebuah lagu yang begitu populer pada masanya, “Mungkin hanya.. lewat lagu ini.. akan kunyatakan rasa, cintaku padamu, rinduku padamu, tak bertepi..” ya tepat saat 1 tahun kami jadian, di depan Vivian dan aku, saat itulah Vivian mengetahui semuanya.
“Kamu tega ya, Din.. kenapa kamu bohongin aku? Kenapa kamu mau bantu aku tapi taunya kamu juga suka sama dia? Kenapa kamu mau aja ngebiarin aku terjebak dalam kebohongan kamu, Din? Saat aku nanya Robby udah punya pacar atau belum, kamu selalu jawab nggak tau, padahal kamu tau. Kenapa kamu selalu mau denger aku curhat? Selalu dukung aku? Haa!? Kamu tega ya!”
Segala jenis permintaan maafku tidak diterima olehnya, Robby tetap mendukungku, tetap menopangku, menjagaku, dan merangkulku. Ia tidak pernah meninggalkanku, ia adalah sumber semangatku, selalu memberiku semangat saat menghadapi masalah Vivian, dan masalah kuliah, “Ini gara-gara aku, Din. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu sampai kapanpun! Aku pasti selalu ada buat kamu, kamu gak sendiri ngadapin ini!”
Semua berlau begitu cepat, hari dimana aku, Robby, Vivian lulus, aku mendapat nilai yang sangat memuaskan, namun hatiku masih terasa berat meninggalkan kampus ini jika masalahku dengan Vivian belum juga selesai..
“Vivi.. selamat ya, kamu lulus. Aku minta maaf sama kamu, aku sayang kamu!” aku mencoba meminta maaf padanya.
“Dinda… maafin aku ya, aku sadar, aku yang salah.. aku terlalu egois, aku terlalu memaksa apa yang kukehendaki bisa menjadi nyata tanpa aku memikirkan perasaan kalian berdua. Maafkan aku, Dinda.. Robby” sahabat lama yang sempat meninggalkan aku memelukku dengan erat. Air mata kebahagiaan membasahi pipi 2 gadis cantik yang sudah lama berpisah.
“Iya.. Vi.. maafin aku juga, ya.”
Tepat 5 tahun sudah kami pacaran, hingga akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini, Vivian adalah salah satu orang yang membantu aku mempersiapkan hari istimewa itu. 14 September 2012, hari yang sangat tepat untuk melaksanakan semuanya..
“Din.. selamat ya.. hari ini sahabatku gak akan sendirian lagi”
“Makasih ya, Vivian.. kamu cepet nyusul loh..”
Dan Mama.. orang yang sangat berarti bagi hidupku, “Selamat ya anak mama paling cantik.. ternyata hari istimewa kita jatuh di hari yang sama, Nak. Dengan kisah yang hampir mirip juga. Mama berharap hidup kamu selalu bahagia. Dan ingatlah, ini awal dari kehidupan kamu yang baru. Mama selalu dukung kamu”
Saat yang ditunggu tiba, saat kami memasuki ruangan gereja, berdiri di hadapan altar dan pendeta yang akan memberkati kami, mengucapkan janji sehidup semati, dan cincin itu.. tersemat di jari manisku..
14 September 2012
Hari yang benar-benar istimewa bagiku. Hari yang membuat aku merasa beruntung.. hari ini kita sama-sama berjalan ke gereja, sama-sama mengucapkan janji kita di hadapan-Nya, dan menyematkan cincin itu di jari kita masing-masing. Hari itu dan cincin ini adalah saksi bisu kisah cinta kita. Aku tak pernah menyangka kau adalah jodohku, orang yang pernah ku anggap sebagai saingan, orang yang selalu mendukung aku, menjadi sandaran saat aku lemah, dan orang yang selalu menjadi alasan untuk aku tetap semangat. Aku berharap aku dapat memberi yang terbaik bagimu, aku berjanji akan selalu setia bersamamu hingga maut memisahkan kita. Aku menyayangimu…
- END -

0 komentar:

Posting Komentar